Jumat, 18 Maret 2011

Balada Negeri O

lukisan via google


Balada Negeri O
oleh Imron Tohari pada 02 September 2010 jam 23:17


Tak dinyana negeri elok tercinta jatuh nestapa. Daun harapan selembar- selembar dibekukan air mata . Dongeng nenek moyang penakluk bahari hilang ditelan arogansi negara tetangga. Harga diri negeri apalah arti, kanan kiri hilang kejora, berita penuh intrik kekuasaan menjadikan wajah pasi rakyat jelata mabuk rindu melukis kemakmuran.

Di kedai kopi tiada ancaman hukum. Untuk kursi kekuasaan apalah artinya kejayaan negeri bagi orang-orang serupa patriot dengan janji-janji yang memabukkan yang diharapkan mabuknya melebihi mariyuana.

Sepulang dari kedai kopi kudapati wajah jelata kian pasi. Terror moral di mana-mana. Lembaga hukum menjadi kilang melawan rakyat sendiri. Sebagian besar yang duduk di kursi kabinet, berlomba adu citra adu gendut tanpa malu pada Presiden. Untuk rakyatkah? Sedang disaat yang sama, ibu-ibu di dapur sibuk menanak air mata, meniriskannya dengan selembar kafan untuk keluarga yang senantiasa bermimpi kemakmuran negeri yang kapan entah─

Tiba perayaan kemerdekaan , kelabu, o Agustus, banyak halaman rumah tanpa merah tanpa putih. Merah putih berebut cidera. Memunguti derita leluhur, pesta tanpa busana Batik dan Keris, tanpa rancak Reog Ponorogo dan Tari pendet, tanpa Angklung dan lagu Rasa Sayange. Malam bulan bertudung lampu dian melayuk nyiur dalam sepi kehilangan lakon Wayang Kulit pun sorak sorai kuda lumping. Jauh di dalam istana, pelakon beradu senyum menjumput citra.

O aku lelakon alit, menjerit pintu berderit. Ketika kudengar genderang bertalu, pulau Bintan dan Ambalat di ujung tubir. Tanpa nyanyian rakyat yang riang, sumpah seranah terlontar menderu, siang dan malam adakah lagu bening di sana, tanpa gemericik panas darah, tanpa intip gagak pemakan bangkai.

Bersimpuh di tempat-tempat peribadatan tidak serta merta sampai ke langit lalu memohon kemenangan berperang menjadikan negeri kembali jaya. Ada jutaan air mata tak berdosa menanam doa. Dan Perang jalan terakhir memenangkan kebenaran dan harga diri terlebih dulu harus berani membersihkan pilar-pilar di bumi pertiwi dari kerak keserakahan, korupsi dan kesewenang-wenangan hukum. Seperti itulah seharusnya. Pemimpin.

: Alam memberi pertanda kuasa Illahi. Waktu berjalan buru-buru menuju ujung. Mestikah menunggu ketukan ajal hingga sesal tak cukup membebaskan atma dari nafsu angkara?

______________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 2 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar